Selasa, 25 Agustus 2009

Tulisan Linda Jalil untuk Amris Fuad Hasan: Keduanya Temanku yang di Sayang Allah

Membaca tulisan tentang pak dubes yang satu ini, ingatan saya melayang ke zaman SMP. Sekelas dengan Ampi yang berseragam putih abu-abu celana pendek sedengkul, yang biasa dipanggil dari seorang Amris Hasan, sungguh menyenangkan. Ia duduk hanya dua baris di samping saya. Santun, tertawa seperlunya, agak pendiam, tetapi tekun dan cerdas. Ayahnya sudah menjabat meski belum menjadi menteri P&K waktu, tetapi Amris Hasan tidak pernah petentengan sebagaimana ‘anak pejabat di Menteng’ lain yang bersekolah di tempat yang sama, SMP Negeri I Cikini.

Saya juga teringat ketika sudah menjadi mahasiswa, hampir setiap pagi bertemu Chappy Fuad Hasan, ibu Amris di ruang dosen. Selalu menyapa dengan hangat dan seringkali melingkari tangannya ke pundak saya. “Ayo dong main ke rumah. Kamu kan teman kecil Ampi”, ujar bu dosen. Keluarga itu memang satu sama lain hangat sekali. Sampai-sampai, putra putri ini hanya memanggil ayahnya dengan “Ad” saja….

Fuad Hasan, sang menteri yang banyak sekali fansnya itu, juga sering saya ‘pelototi’ ketika asap rokok mengebul-ngebul tiada henti. Saat saya bertugas di Istana dan menyatakan ketidaksukaan terhadap rokok yang selalu ditentengnya sebelum menghadap Presiden, Fuad Hasan selalu bilang, “Hehee.. jangan tanya saya kapan berhenti. Ini kan obat, Lin!”

Ketika saya mengadakan konser Ulang Tahun umur yang semakin bertambah, saya menawarkannya untuk bermain biola di muka umum, membawakan lagu yang saya ciptakan. Lalu ia bilang, “Pertama saya ada resepsi pernikahan saudara dekat. Kedua saya sudah jompo nggak bisa sebaik dulu lagi main biola..”, sembari tertawa terkekeh-kekeh.

Kembali ke Amris Hasan. Eh.. nanti dulu….mengingat dia, mau tak mau memang saya teringat seluruh keluarga itu. Adiknya yang wanita, pemilik galeri lukisan, juga super ramah dan gesit . sekali. Paman Amris, Qadir Basalamah adalah pria bersahaja yang memang disekolahkan dan tinggal di rumah kakek saya tahun-tahunan. Adik Fuad Hasan ini tekun sekali, sampai akhirnya menjadi dirjen haji di masa lalu.

Amris Hasan, si celana pendek putih abu-abu itu tahu-tahu sudah di DPR. Tahu-tahu lagi ia sudah terbang ke New Zealand menjadi duta besar di sana. Tak heran memang. Tampan, politikus handal, temannya sejuta umat, dan kini dia memang tidak pendiam seperti dulu. Menjelang keberangkatannya menempati posisi duta besar, hampir tiap minggu saya memergokinya di toko mebel di kawasan Kemang. Dengan teliti ia memilih barang-barang, memesan model, mengukur dengan cermat. “Buat apa’an si h Mpi?”, tanya saya. Ternyata ia sedang mengisi rumah kedua orang tuanya. Meja kecil, tempat tidur, sampai hal-hal yang kecil pun diamati di toko itu. Tampaknya akhirnya ia memang memesan di tempat itu. Dasar Amris.., dia pula sendiri yang berbelanja tanaman, bunga , jauh-jauh ke pasar Rawabelong. Saya jadi teringat almarhum ayah saya. Urusan rumah tangga sampai merangkai bunga di jambangan tak luput dari perhatian. Dulu ketika anaknya muncul berturut-turut, juga ada yang kembar, saya pernah berkelakar, “Rasain lu Mpi… punya anak banyak… jadi harus urus yang baik, kerja keras, dan rangkul semuanya yaaaa!”. Dan Amris pun tertawa lebar sembari memuji-muji istrinya yang cantik, putri Faisal Abda’oe mantan dirut Pertamina itu. Saya juga sungguh berduka ketika Fuad Hasan wafat. Amris datang dari New Zealand dengan penuh duka. Rumah yang apik, yang saya bayangkan hasil penataan Amris bagi ayah bundanya, tentu akan sepi kehilangan satu penghuninya.

Belum lama ini, p ak dubes ini berkali-kali menulis di facebook, agar saya mampir ke negeri yang sedang ia tempati. Tampaknya tugas Amris di sana tak lama lagi. Semoga saja ia loncat lagi menjadi kepala perwakilan di tempat lain lagi. Buah tak jauh dari pohonnya. Fuad Hasan yang disayang banyak orang, supel bergaul, dan telah memberikan banyak kebaikan bagi negeri ini.., kelihatannya akan dan mulai diikuti oleh Amris. Semoga saja….

Minggu, 23 Agustus 2009

Amris Fuad Hasan Kawan Baik PDIP-ku Dubes RI Pilihan SBY untuk New Zealand

Oleh : M. Aji Surya, Deplu, New Zealand

Memanfaatkan jaringan lama


Orangnya supel, ramah dan banyak senyum, alias gaul abis. Begitu kesan pertama yang sering muncul saat bertemu Amris Hassan, Duta Besar RI untuk Selandia Baru. Selain suka ngejoke dengan bahasa Inggrisnya yang casciscus, ia pandai membagi waktu untuk menyambangi siapa saja yang pernah dikenalnya. Tidak heran, setahun duduk di kursi Dubes di Wellington, kawannya sudah seabreg. Mereka adalah pejabat eksekutif maupun parlemen. ”Pak Dubes kemana-mana sudah jalan sendiri,” aku Hermono, staf senior bidang politik KBRI.

Memang, menghadapi pekerjaan tipikal diplomasi bukan barang baru bagi sang Dubes. Kegiatan negosiasi, tarik ulur dan take and give menjadi makanan harian semasa menjadi politisi papan atas salah satu partai terbesar di Indonesia. Selain itu, sebagai politisi, iapun wajib membina hubungan baik dengan konstituen maupun para pejabat. Tidak kurang, banyak menteri menjadi karibnya. Berbekal pengalamannya itu, Amris Hassan merasa tidak berat manakala harus berubah haluan menjadi seorang diplomat.

Bulan-bulan pertama, stafnya masih sibuk mengatur perkenalan dengan berbagai pejabat setempat, setelah itu semuanya dilakukan sendiri. Masalahpun menjadi ringan karena jaringan lamanya masih eksis. ”Kalau perlu, saya biasa angkat telepon dengan beberapa pejabat tinggi pemerintah di Jakarta yang pernah menjadi rekan dan mitra di DPR agar keputusan bisa diambil lebih cepat,” ujar putra mantan Mendikbud Fuad Hassan.Di sisi lain, pria yang mengendalikan usahanya dari jarak jauh ini mengaku perlu adaptasi dengan masalah birokrasi. Meski kini sudah biasa, namun saat mulai dirasakan cukup berat. ”Saya dulu memang tidak biasa menghadapi tumpukan kertas yang butuh disposisi dan tanda tangan. Walapun begitu, ini semua kan dinamika hidup, sehingga saya jalani dengan sepenuh hati,” ujarnya sambil terkekeh.

Sumber: www.aksesdeplu.com

Rahasia Awet Muda 3 Selebriti: Soraya, Shahnaz, Marissa Haque

Haque bersaudara

VIVAnews - Sulit membedakan siapa yang tercantik diantara Haque bersaudara. Kecantikan Marissa, Soraya, dan Shahnaz Haque terpancar dari fisik dan kepribadian mereka.

Ketiga saudara itu juga sukses menekuni bidang masing-masing. Belakangan si sulung Marissa, 46, atau biasa disapa Ica, terus mengejar ambisinya sebagai politisi. Sementara, Soraya, 44, konsisten dengan dunia modeling yang ia tekuni sejak tahun ‘80-an, meski sekarang lebih banyak di belakang panggung.

Jangan tanya mengenai si bungsu Shahnaz. Suara renyah istri musisi Gilang Ramadhan itu biasa menyapa para pendengar radio setiap hari. Tiga saudari yang sama-sama cantik ini memang memiliki jalan hidup yang berbeda, tapi mereka memiliki satu kesamaan, yaitu, sama-sama hobi ngomong.

Untuk urusan kecantikan, Marissa dan Shahnaz juga kompak. Si sulung dan si bungsu mengaku belajar merawat kecantikan dari saudara mereka Soraya. “Aya yang paling cantik diantara kita bertiga. Rambut paling panjang. Mampu menjaga kelangsingan tubuh di usianya sekarang. Mampu bertahan senyum paling lama sampai bibir kering,” kata Marissa, saat ditemui di Plaza Sentral, Jakarta Selatan, Selasa, 18 Agustus 2009.

Demikian halnya dengan Shahnaz, ibu tiga putri itu bilang, rahasia kecantikannya diperoleh dari Soraya. “Karena saya ini perempuan jadi-jadian,” kata Naz tertawa. Meski demikian, Ica, Aya, dan Naz punya tips sendiri-sendiri untuk menjaga kulit tetap awet muda.

Marissa mengatakan, ia rajin minum air dan tak pernah lupa tersenyum. Selain itu, untuk kecantikan batin, ibu dari Bella dan Kiki itu bilang, ia rajin bersyukur setiap akan memulai hari, dan selalu berpikir positif. Aya punya pendapat berbeda. Ia bilang, hidup itu tergantung dari apa yang kita makan, dan apa yang kita pikirkan.

“Terlalu banyak mengonsumsi makanan berlemak akan membuat kulit cepat tua,” tambah perempuan yang paling berani berbusana seksi diantara dua saudaranya itu. Tips Shahnaz lebih sederhana dibanding dua kakaknya. Naz bilang, “Resep awet muda dasarnya adalah cinta.”

Tak heran, jika perempuan pada umumnya takut tua, Haque bersaudara tidak. Menjadi tua adalah sesuatu yang alami. Yang penting, kata Aya, perempuan tidak boleh merasa tua. Sementara, Naz punya pendapat unik.

Ia bilang, seseorang tidak boleh mengumbar kesedihan. “Berhentilah mengeluh. Yang kaya gitu biasanya cepet mat,”ujar Naz dengan gaya bicaranya yang blak-blakan.

VIVAnewsSumber: By Irina Damayanti, Windratie - Rabu, Agustus 19, 2009

Jumat, 21 Agustus 2009

Trio Shahnaz, Soraya, Marissa Haque: ‘Think Beauty is Think Happy’

Kecantikan trio Haque yakni Marissa, Soraya, dan Shahnaz masih bersinar di usia mereka yang bisa dibilang tidak muda lagi. Tak heran jika akhirnya mereka dinobatkan sebagai ikon salah satu produk kecantikan, padahal di tahun ini usia Marissa 47 tahun, Soraya 44 tahun, sementara Shahnaz 37 tahun.

Dijumpai di acara Olay 7 Wanita 7 Rahasia Dengan Hati di Restoran Kembang Goela, Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (18/8), Marissa menuturkan untuk menjaga kesehatan kulit, biasanya keluarga mereka memilih perawatan yang khusus. Pasalnya, peluang mereka menderita kanker lebih besar karena menurun secara genetika.

“Untuk umur saya yang segini ini bukan lagi memakai pelembab, tapi serum, karena keluarga kami mempunyai genetic cancer, jadi lebih cepat menopause dan cenderung kulit kering. (Tapi) yang paling penting adalah think beauty is think happy,” kata Marissa.

Soraya menambahkan jika bertambahnya usia sama sekali bukan masalah dalam keluarga mereka. Malahan menjadi tua adalah sesuatu alami yang bahagia. “Kalau merasa tua itu akan beda dengan menjadi tua. Kalau merasa tua, apa yang ada di dalam pikiran yang harus kita takutkan adalah bagaimana kita bertambah usia tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk orang lain,” katanya.

Shahnaz juga ikutan berbagi tips rahasia mereka untuk selalu menjaga kestabilan kecantikan. Kuncinya hanya satu, selalu merasa bahagia walau sedang ada masalah.

“Kita bahagia, ketawa-ketawa, tidak mengumbar kesedihan itu akan tetap akan kelihatan muda. Berhentilah mengeluh karena memang lebih banyak mengeluh daripada senang. Kalau mengeluh terus, matinya cepat deh,” ujarnya seraya tersenyum. (kpl/gum/boo)

Kamis, 20 Agustus 2009

Sarung NU dan Bapia Isi Keju: Kenangan dalam Kelas Bu Anita Lestari, FEB, UGM

Empat orang dosen yang mengajarku dikelas S2-ku yang ‘kesekian’ di Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Gajah Mada semuanya orang hebat, rendah hati, sangat down-to-earth, serta mampu mentransfer seluruh ilmu yang sejujurnya belum pernah saya miliki sebelumnya untuk kujadikan bekal didalam menjalani kehidupan sesungguhnya diluar kampus – didalam/diluar negeri – yang lebih sering sangat tidak ramah kepada kita semua tanpa terkecuali. Namun ciri yang menjadi diferensiasi mereka masing-masing dari keempat dosen tersebut didalam mengajar, menjadikan kenangan yang unik-berbeda bagiku. Saya akan memulainya dengan Bu Dra. Anita Lestari, MSi seorang psikolog yang mengajarkan beberapa psychology approaches untuk mata kuliah OB (Organizational Behavior).

Bu Anita yang lembut sapa tersebut mengajarkan antara lain tentang pentingnya arti beradaptasi ditempat kerja, menjembatani jurang pembeda, mampu membuat keputusan penting disaat genting, dan lain sebagainya. Juga ada beberapa pelajaran yang menyangkut ilmu system yang sebelumnya telah saya dapatkan di kelas Doktor PSL, IPB saya ulang kembali dengan pemahaman yang tentu lebih baik melalui kelas Bu Anita ini. Malah ilmuku dimasa kuliah di IPB lalu, diperkaya dengan ilmu Leadership yang merupakan style didalam sebuah management/tata kelola di UGM. Bahkan ketika saya menuliskan final individual paper kemarin, saya mengusung tentang seorang pemimpin yang wajib membantu sebuah tata kelola buntu didalam pencurian kayu hutan/illegal logging di Indonesia melalui ‘tangan besi’ kepemimpinanan hukum dalam system. Bahwa liberalisasi melalui jargon novus ordo seclorum didalam lembaran $1 US, hanya mampu di’patahkan’/dibuat lebih seimbang – sustainable development – bilamana sang pemimpin utama mempunyai visi dan misi kuat didalam decision making-nya.

Mungkin saya termasuk salah satu mahasiswi yang paling kritis dikelas. Bahkan ada sebuah kejadian lucu sehingga nama saya kerap dipanggil Bu Anita dengan julukan “Marissa si Sarung NU,” ceritanya gara-gara kami sekelas diminta untuk menebak sebuah gambar yang memiliki minimal 24 makna didalamnya. Nah, begitu sudah mencapai tebakan ke 15 kami dikelas mulai stuck dan ‘agak-agak’ mulai ‘ngaco.’ Entah dapat ide darimana saya hanya melihat dua tumpuk lilitan diatas gambar mirip nenek-nenek itu seibarat sorban yang terbuat dari kain sarung untuk sholat warna kotak-kotak hijau yang sering dipakai keluarga besar NU-ku di Jawa Timur. Spontan saja saya menjawab: “Sarung NU Bu Anita…” Tentu seisi kelas tertawa terbahak-bahak, tak terkecuali Bu Anita. Dan lengkaplah sudah setelah itu nama saya sering terpanggil dengan “Marissa Sarung NU.” Pernah juga Bu Anita saya puji kelihatan sangat manis ketika pakai jilbab warna hijau – yang memang lain dari kebiasaannya yang lebih sering didominasi jilbab putih atau coklat.

Namun ada yang tak akan pernah saya lupakan seumur hidup – karena yang ini tak pernah dilakukan oleh para dosen lainnya – adalah disaat beberapa kali Bu Anita hadir dikelas khusus membawakan kami Bapia isi beraneka macam rasa. Terharu-biru kami sekelas menikmati jajanan khas Yogyakarta tersebut. Dari berbagai isi yang ada didalamnya, saya menyukai yang isi keju. Sehingga biasa sering ber-email-ria dengan beliau dan ditanyakan mau dibawakan apa dari kampung halamannya, maka spontan kami dikelas mengatakan: ”Bapia Buuuuu…” Kalau sekarang saya ditanya maka akan mengatakan hal yang sama namun dengan sedikit diferensiasi: ” Bapia Isi Keju Buuuuu…” (smile).

Ah!… ngangeni memang kelas Bu Anita itu… tak sabar rasanya untuk bersegera kembali kuliah di FEB, UGM. Libur selama 3 minggu ini rasanya sungguh terlalu lama. Memang terbukti, bahwa sekolah yang baik, respectable university dengan management yang baik serta tidak korup – terkait dengan pidana pendidikan – akan membuat siapapun stakeholders didalamnya merasa betah serta ingin memberikan karya terbaik yang mampu dihasilkannya sebagai anak bangsa.

Terimakasih banyak Bu Anita yang saya sayangi… terimakasih FEB, UGM… jazakumullah khoirGod bless you all.

Adikku Shahnaz Haque Ajarkan Anak Berakhlak Baik

MENGAJARKAN anak untuk menjadi orang yang berakhlak baik menjadi cara Shahnaz Haque mendidik ketiga buah hatinya, Pruistin Aisha Haque Ramadhan (7), Charlotte Fatima (6), dan Mieke Namira Haque Ramadhan (3).

Menyadari anak sebagai amanat penting dari sang Maha Kuasa, Naz (sapaan akrab Shahnaz Haque) mengajarkan anaknya agar selalu berbuah baik dan beribadah. Salah satunya dengan mengajak ketiga buah hatinya untuk beribadah di bulan Ramadan mendatang. Meski begitu, ibadah puasa yang dijalani sesuai dengan usia masing-masing anak.

“Saya berdoa agar anak-anak memiliki kecerdasan emosi yang baik. Bulan Ramadan adalah bulan istimewa. Memasuki bulan Ramadan, kami biasanya menghias kamar dengan spanduk Selamat Datang Ramadan atau dengan balon-balon. Kalau anak saya yang kecil, masih puasa beduk. Setiap ada bunyi beduk, dia buka, lalu melanjutkan lagi puasanya,” paparnya saat ditemui di Kembang Goela, Jakarta, Selasa (18/8/2009).

Saat anak-anak dapat menjalani puasa sampai sebulan penuh, umumnya orangtua memberikan rewards. Tapi, tidak demikian dengan Naz. Dia ingin ibadah puasa yang dijalankan berdasarkan kecintaan kepada Tuhan YME.

“Menjalankan ibadah puasa, saya tidak memberikan rewards khusus. Mereka puasa karena mereka cinta sama Tuhannya,” imbuh wanita kelahiran 1 September 1972 itu.

Selain puasa, istri drummer Gilang Ramadhan ini juga mengajarkan ketiga buah hatinya agar dekat dengan orang miskin dan tak lupa mengucap syukur.

“Saya mengajarkan anak agar kita harus dekat dengan orang miskin dan mengajarkan mereka untuk berbagi dengan orang susah. Berada dalam kehidupan yang enak, saya harus membuat mereka tidak besar kepala, saya juga mendidik anak untuk selalu mengucap syukur. Apa yang didapat harus disyukuri. Termasuk juga menarik anak-anak untuk terjun di dalam komunitas lebih banyak, misalnya seperti organisasi Nurani Dunia,” kata Naz.

Selain mengajari arti penting kedekatan dengan kaum miskin, Naz juga menyelipkan makna usaha dan kerja keras, melalui proses berdagang. Ia mengajarkan anak-anaknya untuk tidak menikmati hasil yang mereka peroleh sebelum berusaha.

“Saya tidak pernah meributkan soal uang di hadapan anak. Sekarang saya sedang ajar anak saya berdagang. Seperti menjual es atau menjual kartu dengan gambar-gambar yang mereka buat sendiri. Dan saya selalu tanamkan agar anak tidak perlu malu karena anak Shahnaz berjualan. Saya ingin mengajarkan mereka untuk bisa membujuk orang membeli dari usaha mereka. Uang bukan sulit didapat, tapi mereka harus berusaha terlebih dahulu,” imbuhnya.

Tak hanya mengajarkan untuk senantiasa berusaha, presenter cantik ini juga tak ingin anak-anaknya menghabiskan waktu di mal. Karena itu, ia sering menghabiskan waktu dalam kegiatan alam bersama ketiga putrinya.

“Saya tidak suka memudahkan hidup mereka. Mereka wajib pintar karena kedua orangtuanya telah menyekolahkan mereka. Aku sangat menyukai alam dan membawa mereka menikmati alam, biasanya kami sering bermain flying fox, mandi di kali, mandiin kerbau, atau menangkap ikan lele. Kalau mereka mau genit, mereka bisa datang ke Mama Aya begitu juga dengan keponakan saya dan sebaliknya,” tuturnya.

Meski tampak sempurna, namun ketiga buah hatinya pun tak lepas dari salah. Usia anak yang masih terlalu kecil, sering membuat mereka tak lepas dari kesalahan. Namun, kondisi itu tak menyulut kemarahan Naz. Ia justru percaya adanya the power of touch.

“Kalau anak salah, pasti saya peluk. Karena saya adalah orang yang memercayai the power of touch. Saya akan berada di sebelahnya dan mengelus dia,” tandasnya.

okezone.com - 8/19/2009 4:22 AM Local Time

Rabu, 19 Agustus 2009

Tahun 2000 Karya Buku Pertamaku “AMINAH” Dilahirkan oleh Penerbit PT Rosda Karya

AMINAH
Oleh: Marissa Grace Haque Fawzi, PT. Rosda Karya Bandung, 2000.

Aminah adalah seorang gadis kecil berjilbab. Ia hidup didaerah kumuh yang berdebu ditepi pantai Sampur, Jakarta.

Rumah-rumah disana terbuat dari papan dan kardus bekas. Sampah menggunung. Kaleng-kaleng bekas yang sudah berkarat bertebaran disana-sini. Dicelah-celah jendela, jemuran-jemuran bergantungan menunggu kering. Sebagian lagi bergantungan diatas tali-tali yang terbentang.

Aminah tinggal bersama ibunya. Setiap hari setelah selesai sholat Subuh, mereka menerima cucian yang dititipkan oleh keluarga-keluarga kaya dari luar lingkungan mereka. Sehabis menjemur semua pakaian tersebut, Aminah pergi bermain-main kepantai didekat rumahnya. Biasanya ia bermain diantara karang-karang diatas pasir. Terkadang beberpa anak kecil lainnya bermain bersamanya. Pada kesempatan lain, ia lebih suka sendirian. Berdiam diri memandang gelombang pasang yang berkejaran menerpa karang. Dibiarkannya desir angin memainkan ujung-ujung jilbabnya.

Malam harinya Aminah berjualan kembang. Aminah mengelompokkan kembang tersebut sesuai warnanya; mulai dari warna merah muda, jingga, putih, dan ungu. Bersama Halimah sahabatnya mereka menjual bunga-bunga tersebut dijalan dekat lampu merah. Disana banyak anak-anak sebayanya bermain-main.

Malam itu tak ada bulan. Bintangpun enggan menampakka dirinya. Langit hitam pekat tertutup awan. Walaupun malam terasa panas, kedua anak itu menggigil kedinginan sampai ketulang sumsum.

Aminah dan Halimah berjalan menjajakan kembangnya. Mereka sampai disebuah jalan yang penuh dengan lampu beraneka warna. Hingar binger kendaraan bermotor dan orang-orang yang berlalu lalang.

Tercium bau garam laut bercampur bau polusi yang berasal dari knalpot kendaraan-kendaraan bermotor yang bunyinya memekakkan telinga.

Aminah dan Halimah berjalan dianata mobil-mobil. Menawarkan kembang kepada para pengendara. Ketika bunyi klakson nyaring menyentak, Aminah dan Halimah buru-buru menyingkir.

Seorang wanita tertarik membeli lima tangkai kembang. Aminah dan Halimah tidak dapat menatap wajahnya, karena hanya tangannya saja yang terjulur keluar melalui celah jendela mobil. Wanita itu memberikan uang lima ribu rupiah.

Ketika lampu berubah warna menjadi hijau, mereka berdua kembali duduk sambil menatap kendaraan-kendaraan yang melaju kencang. Lampu-lampu jalan yang bersinar sangat terang, membuat bayangan pohon disekitarnya menjadi semakin dalam. Angin laut bertiup sepoi-sepoi. Udara makin dingin. Malam semakin larut.

Tiba-tiba terdengar bunyi tangisan keras yang menimpali bunyi kendaraan yang berlalu lalang. Aminah tahu siapa yang menangis. Segera didatanginya suara itu.

Seorang anak lelaki menggeliat diatas pangkuan ibunya. Sang ibu menepuk-nepuk punggung sang bocah sambil bersenandung lirih sampai sang bocah tertidur.

Aminah melihat kacang rebus jualan si ibu masih menggunung, belum laku. Ah, kasihan sekali. “Apa khabar Aminah? Banyak laku jualanmu?”, sapa ibu penjual kacang rebus itu. Namanya Ibu Rimpi. “Baru sedikit,” jawab aminah.

“Anakku ini menangis terus sepanjang hari. Tapi kami tak dapat pulang dulu krtumah kalau belum dapat uang. Lihat jualanku hari ini masih sangat banyak tersisa.” Senyum ibu Rimpi terlihat sangat getir sembari menatap wajah-wajah cilik dihadapannya yang manis, jujur, dan polos serta mempunyai kulit yang halus, mata yang bening, dan senyum yang tanpa beban.

Tiba-tiba anak lelakinya menangis lagi. Maka tahulah Aminah dan Halimah bahwa anak lelaki tersebut kelaparan dan kedinginan.

Dengan uang lima ribu rupiah hasil penjualan mereka malam itu, Aminah dan Halimah bergegas membeli makanan dan minuman hangat di sebuah warung dipinggir jalan dekat tempat mereka mangkal. Uang sebanyak itu cukup untuk membeli empat gelas teh manis dan lima potong pisang rebus. “Ah, betapa mahalnya harga makana sekarang ini,” gumam Aminah.

Aminah dan Halimah membawakan makanan dan minuman itu ketempat Ibu Rimpi dan anakknya. Mereka berempat melahapnya dengan nikmat.

Tiba-tiba Aminah merasakan perutnya sakit bukan alang kepalang. “Ya Allah…apa yang terjadi dengan diriku ini?”, gumamnya. Halimah, Ibu Rimpi dan anak lelakinyapun terlihat kesakitan. Mereka semua limbung dan jatuh ketanah.

Tiba-tiba dunia terasa semakin kelam dari malam sesungguhnya. Aminah tak mampu lagi bernafas. Namun ia masih berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya. Dalam lemahnya ia berdoa: “La ilaha Illa anta subhanaka inni kuntu minadz dzalimiin.” Yang artinya ‘Maha suci Engkau, Maha Mulia Engkau, hamba ini seorang aniaya’ (doa Nabi Yunus ketika diperut ikan Paus). Tidak ada tempat lain untuk berlindung serta memohon pertolongan kecuali kepada Nya.

Aminah keracunan makanan. Semua terjadi akibat pabrik-pabrik yang tak bertanggung jawab membuang limbah di Teluk Jakarta, dilokasi Aminah didaerah Sampur. Lalat-lalt berterbangan diparit-parit dan jamban-jamban dekat rumahnya. Menghinggapi makanan dan minuman yang dibelinya, meninggalkan racun dan kotorannya disana.

“Ya Allah setelah Ayahku meninggal karena TBC dua tahun yang lalu, bagaimana nanti nasib ibuku? Siapa nanti yang akan membantunya menyucikan pakaian? Bagaimana nanti dengan nasib Halimah, Ibu Rimpi dan anaknya…?” tangis Aminah.

Tiba-tiba tercium bau semerbak, wangi sekali. Langit kelam tiba-tiba menjadi terang. “Apa yang terjadi? Dimanakah aku?” Aminah kebingungan. “Apa yang harus aku lakukan?”

Desir ombak terdengar. Semakin lama semakin keras. Kaki-kaki mungil Aminah serasa menginjak air laut ditepi pantai. Anginpun seakan membisikkan sesuatu ditelinganya.

Aminahpun teringat akan kembang yang masih digenggamnya. Dipandanginya sesaat, sampai tiba-tiba terbersit sesuatu didalam pikirannya. Dilemparkannya kembang-kembang itu dilangit.

Langit pekat berganti terang, cahaya putih bersinar, membuat bintang-bintang tampak terang benderang. Aminah melihat orang-orang berhenti bercakap-cakap. Tak ada lagi deru kendaraan yang membisingkan. Wajah orang-orang terlihat bersih dan bersinar, menebar senyum dimana-mana. Betapa tenteram, betapa indah.

Perlahan Aminah berjalan meyusuri tepian pantai, pulang kerumah. Sendirian, terlepas dari kerumunan orang banyak. Mengikuti arah sinar, nun didepan sana. Samar-samar terlihat bayangan ayahnya. Tapi Aminah merasa tak pasti. Ia terus membaca shalawat. Mengayuhkan kaki kecilnya, ia ingin menemui ibunya dirumah.

Aminah terus berjalan dibawah kaki langit yang penuh rahasia. Ditatapnya taburan cahaya yang bersinar. Bintang-bintang nun jauh disana adalah miliknya.

Cerita ini Diterbitkan oleh PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, pada tahun 2000